JIKA DANA NONBUJETER TERBUKTI; Presiden Terancam Impeach

YOGYA (KR) - Ketua Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi Fakultas Hukum
(FH) UGM Denny Indrayana SH, LLM, PhD mengatakan, kesaksian aliran dana
non-bujeter DKP dalam persidangan korupsi DKP harus diselidiki secara
profesional dan independen. Jika terbukti kebenarannya, pihak-pihak
yang menerimanya dapat dijerat dengan tindak pidana pemilihan presiden,
pencucian uang atau korupsi.
Bahkan presiden dan wakil presiden pemenang Pilpres 2004 dapat
diimpeach, karena melanggar dua pasal impeachment articles, yaitu
‘tindak pidana berat’ lainnya. Tindak pidana pencucian uang ancaman
penjaranya lebih dari 5 (lima) tahun,” ujar Denny Indrayana ketika
memaparkan pendapat hukum korupsi DKP dan impeachment di Kantor PuKAT
FH-UGM Bulaksumur kepada wartawan, Jumat (25/5).
Pada kesempatan tersebut Denny Indrayana didampingi Hasrul Halili SH
(Direktur Eksekutif), Eddy OS Hiariej SH MHum (Direktur Pengkajian),
Zainal Arifin Mochtar, SH LLM (Direktur Advokasi) dan Totok Dwi
Diantoro SH (Direktur Humas).
Menurut Denny aparat penegak hukum dalam hal ini KPK, Kejaksaan Agung
dan Kepolisian Republik Indonesia harus aktif berkoordinasi dan segera
menindaklanjuti kesaksian dalam persaingan korupsi dana DKP, tidak
justru pasif, saling menunggu atau saling tunjuk dan saling menghindar
untuk menangani kasus ini. Terkait dugaan tindak pencucian uang, proses
pemeriksaan sudah dapat segera dilakukan.
”Kerja aparat penegak hukum tersebut sebaiknya berkoordinasi dengan
pihak-pihak terkait seperti KPU, Panwaslu, PPTAK serta kantor akuntan
publik yang melakukan audit dana kampanye. Untuk menindaklanjuti
masalah korupsi DKP ini tiak diperlukan pelaporan dari masyarakat,
karena dugaan tindak pidana yang mungkin didakwakan bukan merupakan
delik aduan,” ujar Denny Indrayana.
Dikatakan oleh Eddy OS Hiariej, Pasal 184 KUHAP mengatur, keterangan
terdakwa di depan sidang pengadilan alat bukti yang sah, sehingga
aparat penegak hukum tidak harus menunggu. Perbuatan korupsi dana DKP
ini merupakan perbuatan melanggar beberapa ketentuan pidana yang
terberat pada kaitan dengan UU Anti Korupsi, UU Pilpres. Meski ada
pasal yang menyebutkan daluwarsa atas pelaporan, tidak daluwarsa bagi
penuntutan pidana.
”Dikhawatirkan Jaksa Agung menggunakan oportunitas dengan alasan demi
kepentingan umum. Karena itu perlu banyak yang ikut membantu, sehingga
tidak hanya Rokhmin Dahuri yang kena tetapi lebih banyak orang lagi.
Money laundry ini bukan kejahatan yang berdiri sendiri dengan asumsi
DKP hasil korupsi,” ujar Eddy OS Hiariej.
Tak kalah pentingnya, terhadap pihak-pihak yang berkenan memberikan
informasi untuk pengungkapan kasus tindak pidana tersebut (whistle
blower), harus diberikan perlindungan hukum yang sebenar-benarnya.
Pengaturan tentang sanksi dalam tindak pidana pemilu harus diperbaiki
agar lebih tegas dan berat. Proses legislasi yang secara sengaja dan
konspiratif melemahkan desain sanksi pidana pemilu harus diakhiri.
”Ini penting agar tujuan hasil pemilu yang jujur dan adil benar-benar
dapat terwujud. Dana kampanye yang koruptif akan menyandera hasil
pemilu. Pemimpin yang terpilih dari dana bermasalahan demikian akan
terjerat untuk memberikan ‘deviden politik’ yang mungkin berupa jabatan
politik, perlindungan atas kasus hukum, proyek ekonomi yang kolutif dan
lain-lain,” kata Denny Indrayana.