our big culture
2 posters
our big culture
kebudayaan kami kurang lebihnya
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
adat bugis cing...........
Adat dan Kebudayaan Suku Bugis
Oleh: Andi Ahmaddin
Suku Bugis atau to Ugi’ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
PENYEBARAN Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe’) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We’ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu’, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We’ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware’ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (http:// id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure’ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade’) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara’. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We’ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We’ Tenriabeng (Ibu We’ Cudai), We’ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We’ Cudai).
Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure’ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara’ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang lain.
Konsep ade’ (adat) dan spiritualitas (agama)
Konsep ade’ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade’ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang’ade’reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.
Selain konsep ade’ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang’ade’reng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari’ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara’(syariat Islam) (Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”:275-7;La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We’ Cudai, La Galigo,We’ tenriabeng, We’ Opu Sengngeng, dan lain –lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We’ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep ade’ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.
Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat ade’ (adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi’i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau’ matanna’ tikka’ Sultan Alimuddin Idris Matindroe’ ri naga uléng, la Ma’daremmeng, dan Andi Mappanyukki.
Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara’. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara’. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe’ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (di dalam bahasa Jawa nggih) jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran – ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara’ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.
Manusia Bugis
Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teks–teks sejarah seperti karya sastra La Galigo dan Lontara’ diceritakan baik awal mula peradaban orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade’ (adat) dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siri’ yang seharusnya dipegang teguh dan tegakkan dalam nilai – nilai positif kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugis – Makassar, siri’ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri’.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah,Manusia Bugis-Makassar.37).
Di zaman ini, siri’ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siri’ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan – tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Pada hal nilai siri’ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri’ harus dipertahankan pada koridor ade’ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh, bahwa sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilai – nilai ade’ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat pang’ade’reng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.
Mereka yang mampu memegang teguh prinsip – prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di bumi. ***
*) Penulis: Alumnus Asrama Mahasiswa Kaltim “Mangkaliat” Jogjakarta, Anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Bone Yogyakarta (FKMB-Y) Kuliah di Institut Sains & Teknologi AKPRIND Jogjakarta. Tinggal di Balikpapan.
Oleh: Andi Ahmaddin
Suku Bugis atau to Ugi’ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
PENYEBARAN Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe’) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We’ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu’, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We’ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware’ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (http:// id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure’ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade’) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara’. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We’ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We’ Tenriabeng (Ibu We’ Cudai), We’ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We’ Cudai).
Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure’ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara’ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang lain.
Konsep ade’ (adat) dan spiritualitas (agama)
Konsep ade’ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade’ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang’ade’reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.
Selain konsep ade’ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang’ade’reng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari’ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara’(syariat Islam) (Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”:275-7;La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We’ Cudai, La Galigo,We’ tenriabeng, We’ Opu Sengngeng, dan lain –lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We’ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep ade’ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.
Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat ade’ (adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi’i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau’ matanna’ tikka’ Sultan Alimuddin Idris Matindroe’ ri naga uléng, la Ma’daremmeng, dan Andi Mappanyukki.
Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara’. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara’. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe’ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (di dalam bahasa Jawa nggih) jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran – ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara’ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.
Manusia Bugis
Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teks–teks sejarah seperti karya sastra La Galigo dan Lontara’ diceritakan baik awal mula peradaban orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade’ (adat) dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siri’ yang seharusnya dipegang teguh dan tegakkan dalam nilai – nilai positif kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugis – Makassar, siri’ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri’.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah,Manusia Bugis-Makassar.37).
Di zaman ini, siri’ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siri’ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan – tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Pada hal nilai siri’ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri’ harus dipertahankan pada koridor ade’ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh, bahwa sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilai – nilai ade’ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat pang’ade’reng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.
Mereka yang mampu memegang teguh prinsip – prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di bumi. ***
*) Penulis: Alumnus Asrama Mahasiswa Kaltim “Mangkaliat” Jogjakarta, Anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Bone Yogyakarta (FKMB-Y) Kuliah di Institut Sains & Teknologi AKPRIND Jogjakarta. Tinggal di Balikpapan.
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
kebudayaan
Busana Tradisional Makassar
Penulis Jaya Purnawijaya
Di wilayah Sulawesi Selatan suku bangsa Makasar menempati daerah Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Pangkajene, Maros, Gowa, dan Kepulauan selayar.
Dalam kebudayaan Makasar, busana adat merupakan salah satu aspek yang cukup penting. Bukan saja berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga sebagai kelengkapan suatu upacara adat. Yang dimaksud dengan busana adat di sini adalah pakaian berikut aksesori yang dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, penjemputan tamu, atau hari-hari besar adat lainnya. Pada dasarnya, keberadaan dan pemakaian busana adat pada suatu upacara tertentu akan melambangkan keagungan upacara itu sendiri.
Melihat kebiasaan mereka dalam berbusana, sebenarnya dapat dikatakan bahwa busana adat Makasar menunjukkan kemiripan dengan busana yang biasa dipakai oleh orang Bugis. Meskipun demikian, ada beberapa ciri, bentuk maupun corak, busana yang khas milik pendukung kebudayaan Makasar dan tidak dapat disamakan dengan busana milik masyarakat Bugis.
Pada masa dulu, busana adat orang Makasar dapat menunjukkan status perkawinan, bahkan juga status sosial pemakainya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat Makasar terbagi atas tiga lapisan sosial. Ketiga strata sosial tersebut adalah ono karaeng, yakni lapisan yang ditempati oleh kerabat raja dan bangsawan; tu maradeka, yakni lapisan orang merdeka atau masyarakat kebanyakan; dan atu atau golongan para budak, yakni lapisan orangorang yang kalah dalam peperangan, tidak mampu membayar utang, dan yang melanggar adat. Namun dewasa ini, busana yang dipakai tidak lagi melambangkan suatu kedudukan sosial seseorang, melainkan lebih menunjukkan selera pemakainya.
Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin pemakainya, busana adat Makasar tentu saja dapat dibedakan atas busana pria dan busana wanita. Masing-masing busana tersebut memiliki karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju bella dada dan jas tutunya sedangkan busana adat wanita dengan baju bodo dan baju labbunya.
Busana adat pria Makasar terdiri atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk, dan tutup kepala atau passapu. Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah dada atau bella dada. Model baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku di kanan dan kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang pada leher baju. Gambaran model tersebut sama untuk kedua jenis baju pria, baik untuk jas tutu maupun baju bella dada. Hanya dalam hal warna dan bahan yang dipakai terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya tebal dan berwarna biru atau coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe atau lipa garusuk yang polos, berwarna terang dan mencolok seperti merah, dan hijau.
Khusus untuk tutup kepala, bahan yang biasa digunakan berasal dari kain pasapu yang terbuat dari serat daun lontar yang dianyam. Bila tutup kepala pada busana adat pria Makasar dihiasi dengan benang emas, masyarakat menyebutnya mbiring. Namun jika keadaan sebaliknya atau tutup kepala tidak berhias benang emas, pasapu guru sebutannya. Biasanya, yang mengenakan pasapu guru adalah mereka yang berstatus sebagai guru di kampung. Pemakaian tutup kepala pada busana pria mempunyai makna-makna dan simbol-simbol tertentu yang melambangkan satus sosial pemakainya.
Kelengkapan busana adat pria Makasar yang tidak pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti keris, gelang, selempang atau rante sembang, sapu tangan berhias atau passapu ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau sigarak. Keris yang senantiasa digunakan adalah keris dengan kepala dan sarung yang terbuat dari emas, dikenal dengan sebutan pasattimpo atau tatarapeng. Jenis keris ini merupakan benda pusaka yang dikeramatkan oleh pemiliknya, bahkan dapat digantungi sejenis jimat yang disebut maili. Agar keris tidak mudah lepas dan tetap pada tempatnya, maka diberi pengikat yang disebut talibannang. Adapun gelang yang menjadi perhiasan para pria Makasar, biasanya berbentuk ular naga dan terbuat dari emas atau disebut ponto naga. Gambaran busana adat pria Makasar lengkap dengan semua jenis perhiasan seperti itu, tampak jelas pada seorang pria yang sedang melangsungkan upacara pernikahan. Lebih tepatnya dikenakan sebagai busana pengantin pria.
Sementara itu, busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua jenis baju yang biasa dikenakan oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga baju bodo panjang, biasanya berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain sutera tipis, berwarna tua dengan corak bunga-bunga. Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa mengenakan baju labbu.
Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecilkecil yang disebut corak cadii.
Sama halnya dengan pria, wanita makasar pun memakai berbagai perhiasan untuk melengkapi tampilan busana yang dikenakannya Unsur perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya. Penggunaan busana adat wanita Makasar yang lengkap dengan berbagai aksesorinya terlihat pada busana pengantin wanita. Begitu pula halnya dengan para pengiring pengantin, hanya saja perhiasan yang dikenakannya tidak selengkap itu.
Penulis Jaya Purnawijaya
Di wilayah Sulawesi Selatan suku bangsa Makasar menempati daerah Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Pangkajene, Maros, Gowa, dan Kepulauan selayar.
Dalam kebudayaan Makasar, busana adat merupakan salah satu aspek yang cukup penting. Bukan saja berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga sebagai kelengkapan suatu upacara adat. Yang dimaksud dengan busana adat di sini adalah pakaian berikut aksesori yang dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, penjemputan tamu, atau hari-hari besar adat lainnya. Pada dasarnya, keberadaan dan pemakaian busana adat pada suatu upacara tertentu akan melambangkan keagungan upacara itu sendiri.
Melihat kebiasaan mereka dalam berbusana, sebenarnya dapat dikatakan bahwa busana adat Makasar menunjukkan kemiripan dengan busana yang biasa dipakai oleh orang Bugis. Meskipun demikian, ada beberapa ciri, bentuk maupun corak, busana yang khas milik pendukung kebudayaan Makasar dan tidak dapat disamakan dengan busana milik masyarakat Bugis.
Pada masa dulu, busana adat orang Makasar dapat menunjukkan status perkawinan, bahkan juga status sosial pemakainya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat Makasar terbagi atas tiga lapisan sosial. Ketiga strata sosial tersebut adalah ono karaeng, yakni lapisan yang ditempati oleh kerabat raja dan bangsawan; tu maradeka, yakni lapisan orang merdeka atau masyarakat kebanyakan; dan atu atau golongan para budak, yakni lapisan orangorang yang kalah dalam peperangan, tidak mampu membayar utang, dan yang melanggar adat. Namun dewasa ini, busana yang dipakai tidak lagi melambangkan suatu kedudukan sosial seseorang, melainkan lebih menunjukkan selera pemakainya.
Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin pemakainya, busana adat Makasar tentu saja dapat dibedakan atas busana pria dan busana wanita. Masing-masing busana tersebut memiliki karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju bella dada dan jas tutunya sedangkan busana adat wanita dengan baju bodo dan baju labbunya.
Busana adat pria Makasar terdiri atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk, dan tutup kepala atau passapu. Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah dada atau bella dada. Model baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku di kanan dan kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang pada leher baju. Gambaran model tersebut sama untuk kedua jenis baju pria, baik untuk jas tutu maupun baju bella dada. Hanya dalam hal warna dan bahan yang dipakai terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya tebal dan berwarna biru atau coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe atau lipa garusuk yang polos, berwarna terang dan mencolok seperti merah, dan hijau.
Khusus untuk tutup kepala, bahan yang biasa digunakan berasal dari kain pasapu yang terbuat dari serat daun lontar yang dianyam. Bila tutup kepala pada busana adat pria Makasar dihiasi dengan benang emas, masyarakat menyebutnya mbiring. Namun jika keadaan sebaliknya atau tutup kepala tidak berhias benang emas, pasapu guru sebutannya. Biasanya, yang mengenakan pasapu guru adalah mereka yang berstatus sebagai guru di kampung. Pemakaian tutup kepala pada busana pria mempunyai makna-makna dan simbol-simbol tertentu yang melambangkan satus sosial pemakainya.
Kelengkapan busana adat pria Makasar yang tidak pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti keris, gelang, selempang atau rante sembang, sapu tangan berhias atau passapu ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau sigarak. Keris yang senantiasa digunakan adalah keris dengan kepala dan sarung yang terbuat dari emas, dikenal dengan sebutan pasattimpo atau tatarapeng. Jenis keris ini merupakan benda pusaka yang dikeramatkan oleh pemiliknya, bahkan dapat digantungi sejenis jimat yang disebut maili. Agar keris tidak mudah lepas dan tetap pada tempatnya, maka diberi pengikat yang disebut talibannang. Adapun gelang yang menjadi perhiasan para pria Makasar, biasanya berbentuk ular naga dan terbuat dari emas atau disebut ponto naga. Gambaran busana adat pria Makasar lengkap dengan semua jenis perhiasan seperti itu, tampak jelas pada seorang pria yang sedang melangsungkan upacara pernikahan. Lebih tepatnya dikenakan sebagai busana pengantin pria.
Sementara itu, busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua jenis baju yang biasa dikenakan oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga baju bodo panjang, biasanya berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain sutera tipis, berwarna tua dengan corak bunga-bunga. Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa mengenakan baju labbu.
Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecilkecil yang disebut corak cadii.
Sama halnya dengan pria, wanita makasar pun memakai berbagai perhiasan untuk melengkapi tampilan busana yang dikenakannya Unsur perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya. Penggunaan busana adat wanita Makasar yang lengkap dengan berbagai aksesorinya terlihat pada busana pengantin wanita. Begitu pula halnya dengan para pengiring pengantin, hanya saja perhiasan yang dikenakannya tidak selengkap itu.
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
Re: our big culture
Gubernur Akan Hadiri Pesta Adat Tarowang
Jeneponto, Tribun -- Gubernur Sulsel, Amin Syam, dijadwalkan menghadiri sekaligus menutup pesta adat Jene-jene Sappara (Mandi di Bulan Syafar) di Pantai Desa Balang Loe Tarowang, Kecamatan Tarowang, Jeneponto, Minggu (4/3).
Gubernur sudah memastikan kesiapannya menghadiri kegiataan budaya warisan Kerajaan Tarowang ini. Dirjen Pembangunan Daerah, M Arif Bulu, yang sesepuh Kerajaan Tarowang, juga dijadwalkan hadir.
Pesta adat Jene-jene yang bertujuan memohon keselamatan kepada Tuhan ini dibuka Wakil Bupati Jeneponto, Sjamsuddin Zainal, didampingi Kepala Kantor Pariwisata Jeneponto, Asrul, Senin (26/2) pagi. Pesta adat ini berlangsung 10 hari.
Sejumlah kegiatan kesenian ditampilkan dalam kegiatan ini, seperti massempa (adu tendangan) dan abbatte (adu ayam). Camat Tarowang yang juga ketua panitia pelaksana mengatakan, pesta adat dilaksanakan untuk melestarikan budaya dan tradisi Kerajaan Tarowang.
Dalam sambutannya, wakil bupati mengatakan, kegiatan ini sangat tepat untuk melestarikan tradisi yang bermuatan lokal sebagai warisan leluhur. Pesta adat ini sekaligus menjadi bukti bahwa Tarowang pernah mencapai kejayaan pada abad XV. (mam)
Jeneponto, Tribun -- Gubernur Sulsel, Amin Syam, dijadwalkan menghadiri sekaligus menutup pesta adat Jene-jene Sappara (Mandi di Bulan Syafar) di Pantai Desa Balang Loe Tarowang, Kecamatan Tarowang, Jeneponto, Minggu (4/3).
Gubernur sudah memastikan kesiapannya menghadiri kegiataan budaya warisan Kerajaan Tarowang ini. Dirjen Pembangunan Daerah, M Arif Bulu, yang sesepuh Kerajaan Tarowang, juga dijadwalkan hadir.
Pesta adat Jene-jene yang bertujuan memohon keselamatan kepada Tuhan ini dibuka Wakil Bupati Jeneponto, Sjamsuddin Zainal, didampingi Kepala Kantor Pariwisata Jeneponto, Asrul, Senin (26/2) pagi. Pesta adat ini berlangsung 10 hari.
Sejumlah kegiatan kesenian ditampilkan dalam kegiatan ini, seperti massempa (adu tendangan) dan abbatte (adu ayam). Camat Tarowang yang juga ketua panitia pelaksana mengatakan, pesta adat dilaksanakan untuk melestarikan budaya dan tradisi Kerajaan Tarowang.
Dalam sambutannya, wakil bupati mengatakan, kegiatan ini sangat tepat untuk melestarikan tradisi yang bermuatan lokal sebagai warisan leluhur. Pesta adat ini sekaligus menjadi bukti bahwa Tarowang pernah mencapai kejayaan pada abad XV. (mam)
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
toraja dongggggg
Pesta Adat 'Rambu Solo' di Tana Toraja
Gerbang Memasuki Alam Kekal
(18 Jul 2005, 1188 x , Komentar)
KEMATIAN bagi yang hidup adalah sebuah keniscayaan. Demikian juga bagi masyarakat Tana Toraja, Sulsel.Tapi, sebagai gerbang ke alam yang lain, masyarakat Tana Toraja punya tradisi sendiri bagi tiap kerabatnya yang meninggal; pesta adat Rambu Solo'.
==========
DI balik pegunungan yang sulit terjangkau kendaraan, di atas lahan yang sedikit lapang, tampak berjejer rumah-rumah dari bambu. Modelnya sederhana. Bahkan, tidak berlebih bila dinyatakan tak layak ditinggali. Dalam Bahasa Toraja, rumah-rumah bambu itu dikenal dengan nama Lantang.
Rumah-rumah bambu itu dibuat bersambung. Sebuah rumah besar, tongkonan, sebagai rumah khas adat Toraja seolah menjadi pusat dari rumah-rumah bambu itu. Sebab, di kiri kanan rumah besar itulah, rumah-rumah bambu itu didirikan. Tiap sekat rumah bambu itu diberi nomor.
Pendirian rumah-rumah bambu itu merupakan pertanda akan dimulainya sebuah pesta adat dalam tradisi masyarakat Tana Toraja. Pesta adat atas meninggalnya kerabat. Pesta adat yang merupakan warisan tradisi para leluhur; upacara penguburan atau Rambu Solo'.
Dalam bahasa lain, Rambu Solo' juga kerap dimaknai sebagai pesta kematian. Akan tetapi, makna tentu bukan berpesta atas kematian kerabat, melainkan upacara mengantar kepergian kerabat yang telah berjasa dalam hidupnya.
Siang itu, Kamis 14 Juli 2005. Di daerah Kamiri, Sangalla, Tator, berlangsung pesta adat Rambu Solo atas kematian Helena Rambulangi dalam usia 95 tahun. Hampir semua perhatian masyarakat sekitar tertuju pada acara ini. Malah, ada yang datang khusus, termasuk para turis datang jauh-jauh, hanya untuk menyaksikan jalannya acara ini.
Bahkan, ada yang sudah mengikuti upacara ini sejak Sabtu, 9 Juli. Kamis siang itu, memang menjadi puncak upacara Rambu Solo; mengantar jenazah ke pemakaman. Sebelumnya, Sabtu 9 Juli, kerabat yang datang sudah diminta mengisi lantang yang tersedia, termasuk logistik yang dibutuhkan selama acara pemakaman.
Pada hari yang sama juga digelar Ma'karudusan. Dua ekor kerbau dikorbankan sebagai pertanda dimulainya acara pemakaman. Tidak berselang lama, fase Ma'pasa' Tedong juga digelar. Semua kerbau yang telah disepakati keluarga untuk dikorbankan dikumpulkan di halaman Tongkonan tempat pesemayaman yang meninggal. Kerbau diarak berkeliling bala'kaan sebanyak tiga kali.
Keesokan harinya, secara berturut-turut dilakukan pemindahan jenazah dari Tongkonan ke Lumbung. Tiba saat Ma'pasonglo', jenazah dipindahkan dari Lumbung ke Lakkian yang berada di lokasi tempat pemakaman, setelah dilakukan ibadah. Pemindahan dilakukan dengan arak-arakan.
Hari berikutnya, keluarga yang berduka menerima kunjungan dari kerabat dan tamu lain yang menyampaikan turut berduka cita. Biasanya berlangsung selama dua hari.
Tamu dan kerabat yang datang lebih dulu mendaftar pada pos penerimaan tamu. Saat itu, tamu juga mendaftarkan hewan atau benda yang dibawanya untuk dicatat panitia. Pendaftaran ini terkait dengan pajak yang harus dibayar yang bagi masyarakat Toraja sudah menjadi salah satu sumber PAD terbesar.
Tamu yang sudah mendaftar lalu masuk ke lokasi Katongkonan secara bergiliran. Para tamu diterima secara resmi oleh keluarga dan dijamu minum kopi, teh, atau pangan. Sesudah dijamu, tamu menuju Lantang masing-masing untuk makan dan istirahat. Selanjutnya, rombongan tamu lainnya akan diterima secara resmi.
Puncak acara adalah mengarak jenazah menuju pemakaman. Semua kerbau yang sudah disepakati dikorbankan harus potong dan dagingnya dibagi-bagikan secara adat sesuai peruntukannya.
***
APA yang dilakukan dalam pesta Rambu Solo' sesungguhnya hanyalah sebuah simbol. Simbol dari sebuah tradisi yang turun temurun. Sebab, dalam pelaksanaan upacara ini, ada yang lebih penting; ada makna yang terkait erat dengan kepercayaan masyarakat.
Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini; bahkan yang menyatakan, orang Toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta kematian.
Pandangan lain menyatakan, sungguh berat acara itu dilaksanakan. Sebab, orang yang kedukaan justru harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Untuk diketahui, hewan-hewan yang dikorbankan dalam upacara itu, ternyata bukan hanya dari kalangan keluarga yang meninggal, tetapi juga merupakan bantuan dari semua keluarga dan kerabat. Selain itu, hewan yang dikorbankan itu juga dibagi-bagikan, termasuk disumbangkan ke rumah-rumah ibadah. Pesta ini sesungguhnya menjadi simbol dari upaya melestarikan tradisi tolong-menolong dan gotong-royong.
Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya berbicara upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri'). Makanya, upacara Rambu Solo juga terkait dengan tingkat stratifikasi sosial. Dulunya, pesta meriah hanya menjadi milik bangsawan kelas tinggi dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang mulai bergeser. Siapa yang kaya, itulah yang pestanya meriah.
Berbagi makanan adalah hal biasa. Olehnya itu, berkunjung ke rumah orang Toraja akan selalu diajak makan dan tidak boleh ditolak. Jika sudah makan dan kenyang, tetap ambil beberapa suap sebagai tanda persaudaraan dan penghormatan.
Menurut hukum adat Toraja, pewaris yang memberi terbanyak pada upacara pemakaman akan menerima bagian terbesar warisan, entah dia perempuan atau laki-laki.
Kepercayaan leluhur (aluk todolo) jiwa yang mati mengendarai jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan. Makanya, hewan terbaik dan paling berharga adalah Tedong Bonga. Sebab, dengan bahu yang besar dan tanduk panjang yang kuat, bisa dikendarai bagi yang meninggal melintasi gunung dan lembah menuju alam baka (puya).
Orang Toraja percaya bahwa jiwa dari hewan korban akan mengikuti tuannya yang dikorbankan pada upacara pemakaman. Dipercaya pula, roh dari rumah dan semua milik yang meninggal akan mengikuti pemiliknya. Karenanya, sekalipun seseorang meninggal di tempat lain, keluarga berusaha membawanya kembali ke tempat asal untuk upacara pemakaman. (*)
Gerbang Memasuki Alam Kekal
(18 Jul 2005, 1188 x , Komentar)
KEMATIAN bagi yang hidup adalah sebuah keniscayaan. Demikian juga bagi masyarakat Tana Toraja, Sulsel.Tapi, sebagai gerbang ke alam yang lain, masyarakat Tana Toraja punya tradisi sendiri bagi tiap kerabatnya yang meninggal; pesta adat Rambu Solo'.
==========
DI balik pegunungan yang sulit terjangkau kendaraan, di atas lahan yang sedikit lapang, tampak berjejer rumah-rumah dari bambu. Modelnya sederhana. Bahkan, tidak berlebih bila dinyatakan tak layak ditinggali. Dalam Bahasa Toraja, rumah-rumah bambu itu dikenal dengan nama Lantang.
Rumah-rumah bambu itu dibuat bersambung. Sebuah rumah besar, tongkonan, sebagai rumah khas adat Toraja seolah menjadi pusat dari rumah-rumah bambu itu. Sebab, di kiri kanan rumah besar itulah, rumah-rumah bambu itu didirikan. Tiap sekat rumah bambu itu diberi nomor.
Pendirian rumah-rumah bambu itu merupakan pertanda akan dimulainya sebuah pesta adat dalam tradisi masyarakat Tana Toraja. Pesta adat atas meninggalnya kerabat. Pesta adat yang merupakan warisan tradisi para leluhur; upacara penguburan atau Rambu Solo'.
Dalam bahasa lain, Rambu Solo' juga kerap dimaknai sebagai pesta kematian. Akan tetapi, makna tentu bukan berpesta atas kematian kerabat, melainkan upacara mengantar kepergian kerabat yang telah berjasa dalam hidupnya.
Siang itu, Kamis 14 Juli 2005. Di daerah Kamiri, Sangalla, Tator, berlangsung pesta adat Rambu Solo atas kematian Helena Rambulangi dalam usia 95 tahun. Hampir semua perhatian masyarakat sekitar tertuju pada acara ini. Malah, ada yang datang khusus, termasuk para turis datang jauh-jauh, hanya untuk menyaksikan jalannya acara ini.
Bahkan, ada yang sudah mengikuti upacara ini sejak Sabtu, 9 Juli. Kamis siang itu, memang menjadi puncak upacara Rambu Solo; mengantar jenazah ke pemakaman. Sebelumnya, Sabtu 9 Juli, kerabat yang datang sudah diminta mengisi lantang yang tersedia, termasuk logistik yang dibutuhkan selama acara pemakaman.
Pada hari yang sama juga digelar Ma'karudusan. Dua ekor kerbau dikorbankan sebagai pertanda dimulainya acara pemakaman. Tidak berselang lama, fase Ma'pasa' Tedong juga digelar. Semua kerbau yang telah disepakati keluarga untuk dikorbankan dikumpulkan di halaman Tongkonan tempat pesemayaman yang meninggal. Kerbau diarak berkeliling bala'kaan sebanyak tiga kali.
Keesokan harinya, secara berturut-turut dilakukan pemindahan jenazah dari Tongkonan ke Lumbung. Tiba saat Ma'pasonglo', jenazah dipindahkan dari Lumbung ke Lakkian yang berada di lokasi tempat pemakaman, setelah dilakukan ibadah. Pemindahan dilakukan dengan arak-arakan.
Hari berikutnya, keluarga yang berduka menerima kunjungan dari kerabat dan tamu lain yang menyampaikan turut berduka cita. Biasanya berlangsung selama dua hari.
Tamu dan kerabat yang datang lebih dulu mendaftar pada pos penerimaan tamu. Saat itu, tamu juga mendaftarkan hewan atau benda yang dibawanya untuk dicatat panitia. Pendaftaran ini terkait dengan pajak yang harus dibayar yang bagi masyarakat Toraja sudah menjadi salah satu sumber PAD terbesar.
Tamu yang sudah mendaftar lalu masuk ke lokasi Katongkonan secara bergiliran. Para tamu diterima secara resmi oleh keluarga dan dijamu minum kopi, teh, atau pangan. Sesudah dijamu, tamu menuju Lantang masing-masing untuk makan dan istirahat. Selanjutnya, rombongan tamu lainnya akan diterima secara resmi.
Puncak acara adalah mengarak jenazah menuju pemakaman. Semua kerbau yang sudah disepakati dikorbankan harus potong dan dagingnya dibagi-bagikan secara adat sesuai peruntukannya.
***
APA yang dilakukan dalam pesta Rambu Solo' sesungguhnya hanyalah sebuah simbol. Simbol dari sebuah tradisi yang turun temurun. Sebab, dalam pelaksanaan upacara ini, ada yang lebih penting; ada makna yang terkait erat dengan kepercayaan masyarakat.
Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini; bahkan yang menyatakan, orang Toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta kematian.
Pandangan lain menyatakan, sungguh berat acara itu dilaksanakan. Sebab, orang yang kedukaan justru harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Untuk diketahui, hewan-hewan yang dikorbankan dalam upacara itu, ternyata bukan hanya dari kalangan keluarga yang meninggal, tetapi juga merupakan bantuan dari semua keluarga dan kerabat. Selain itu, hewan yang dikorbankan itu juga dibagi-bagikan, termasuk disumbangkan ke rumah-rumah ibadah. Pesta ini sesungguhnya menjadi simbol dari upaya melestarikan tradisi tolong-menolong dan gotong-royong.
Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya berbicara upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri'). Makanya, upacara Rambu Solo juga terkait dengan tingkat stratifikasi sosial. Dulunya, pesta meriah hanya menjadi milik bangsawan kelas tinggi dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang mulai bergeser. Siapa yang kaya, itulah yang pestanya meriah.
Berbagi makanan adalah hal biasa. Olehnya itu, berkunjung ke rumah orang Toraja akan selalu diajak makan dan tidak boleh ditolak. Jika sudah makan dan kenyang, tetap ambil beberapa suap sebagai tanda persaudaraan dan penghormatan.
Menurut hukum adat Toraja, pewaris yang memberi terbanyak pada upacara pemakaman akan menerima bagian terbesar warisan, entah dia perempuan atau laki-laki.
Kepercayaan leluhur (aluk todolo) jiwa yang mati mengendarai jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan. Makanya, hewan terbaik dan paling berharga adalah Tedong Bonga. Sebab, dengan bahu yang besar dan tanduk panjang yang kuat, bisa dikendarai bagi yang meninggal melintasi gunung dan lembah menuju alam baka (puya).
Orang Toraja percaya bahwa jiwa dari hewan korban akan mengikuti tuannya yang dikorbankan pada upacara pemakaman. Dipercaya pula, roh dari rumah dan semua milik yang meninggal akan mengikuti pemiliknya. Karenanya, sekalipun seseorang meninggal di tempat lain, keluarga berusaha membawanya kembali ke tempat asal untuk upacara pemakaman. (*)
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
Pesta Adat 'Rambu Solo' di Tana Toraja
Pesta Adat 'Rambu Solo' di Tana Toraja
Gerbang Memasuki Alam Kekal
(18 Jul 2005, 1188 x , Komentar)
KEMATIAN bagi yang hidup adalah sebuah keniscayaan. Demikian juga bagi masyarakat Tana Toraja, Sulsel.Tapi, sebagai gerbang ke alam yang lain, masyarakat Tana Toraja punya tradisi sendiri bagi tiap kerabatnya yang meninggal; pesta adat Rambu Solo'.
==========
DI balik pegunungan yang sulit terjangkau kendaraan, di atas lahan yang sedikit lapang, tampak berjejer rumah-rumah dari bambu. Modelnya sederhana. Bahkan, tidak berlebih bila dinyatakan tak layak ditinggali. Dalam Bahasa Toraja, rumah-rumah bambu itu dikenal dengan nama Lantang.
Rumah-rumah bambu itu dibuat bersambung. Sebuah rumah besar, tongkonan, sebagai rumah khas adat Toraja seolah menjadi pusat dari rumah-rumah bambu itu. Sebab, di kiri kanan rumah besar itulah, rumah-rumah bambu itu didirikan. Tiap sekat rumah bambu itu diberi nomor.
Pendirian rumah-rumah bambu itu merupakan pertanda akan dimulainya sebuah pesta adat dalam tradisi masyarakat Tana Toraja. Pesta adat atas meninggalnya kerabat. Pesta adat yang merupakan warisan tradisi para leluhur; upacara penguburan atau Rambu Solo'.
Dalam bahasa lain, Rambu Solo' juga kerap dimaknai sebagai pesta kematian. Akan tetapi, makna tentu bukan berpesta atas kematian kerabat, melainkan upacara mengantar kepergian kerabat yang telah berjasa dalam hidupnya.
Siang itu, Kamis 14 Juli 2005. Di daerah Kamiri, Sangalla, Tator, berlangsung pesta adat Rambu Solo atas kematian Helena Rambulangi dalam usia 95 tahun. Hampir semua perhatian masyarakat sekitar tertuju pada acara ini. Malah, ada yang datang khusus, termasuk para turis datang jauh-jauh, hanya untuk menyaksikan jalannya acara ini.
Bahkan, ada yang sudah mengikuti upacara ini sejak Sabtu, 9 Juli. Kamis siang itu, memang menjadi puncak upacara Rambu Solo; mengantar jenazah ke pemakaman. Sebelumnya, Sabtu 9 Juli, kerabat yang datang sudah diminta mengisi lantang yang tersedia, termasuk logistik yang dibutuhkan selama acara pemakaman.
Pada hari yang sama juga digelar Ma'karudusan. Dua ekor kerbau dikorbankan sebagai pertanda dimulainya acara pemakaman. Tidak berselang lama, fase Ma'pasa' Tedong juga digelar. Semua kerbau yang telah disepakati keluarga untuk dikorbankan dikumpulkan di halaman Tongkonan tempat pesemayaman yang meninggal. Kerbau diarak berkeliling bala'kaan sebanyak tiga kali.
Keesokan harinya, secara berturut-turut dilakukan pemindahan jenazah dari Tongkonan ke Lumbung. Tiba saat Ma'pasonglo', jenazah dipindahkan dari Lumbung ke Lakkian yang berada di lokasi tempat pemakaman, setelah dilakukan ibadah. Pemindahan dilakukan dengan arak-arakan.
Hari berikutnya, keluarga yang berduka menerima kunjungan dari kerabat dan tamu lain yang menyampaikan turut berduka cita. Biasanya berlangsung selama dua hari.
Tamu dan kerabat yang datang lebih dulu mendaftar pada pos penerimaan tamu. Saat itu, tamu juga mendaftarkan hewan atau benda yang dibawanya untuk dicatat panitia. Pendaftaran ini terkait dengan pajak yang harus dibayar yang bagi masyarakat Toraja sudah menjadi salah satu sumber PAD terbesar.
Tamu yang sudah mendaftar lalu masuk ke lokasi Katongkonan secara bergiliran. Para tamu diterima secara resmi oleh keluarga dan dijamu minum kopi, teh, atau pangan. Sesudah dijamu, tamu menuju Lantang masing-masing untuk makan dan istirahat. Selanjutnya, rombongan tamu lainnya akan diterima secara resmi.
Puncak acara adalah mengarak jenazah menuju pemakaman. Semua kerbau yang sudah disepakati dikorbankan harus potong dan dagingnya dibagi-bagikan secara adat sesuai peruntukannya.
***
APA yang dilakukan dalam pesta Rambu Solo' sesungguhnya hanyalah sebuah simbol. Simbol dari sebuah tradisi yang turun temurun. Sebab, dalam pelaksanaan upacara ini, ada yang lebih penting; ada makna yang terkait erat dengan kepercayaan masyarakat.
Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini; bahkan yang menyatakan, orang Toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta kematian.
Pandangan lain menyatakan, sungguh berat acara itu dilaksanakan. Sebab, orang yang kedukaan justru harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Untuk diketahui, hewan-hewan yang dikorbankan dalam upacara itu, ternyata bukan hanya dari kalangan keluarga yang meninggal, tetapi juga merupakan bantuan dari semua keluarga dan kerabat. Selain itu, hewan yang dikorbankan itu juga dibagi-bagikan, termasuk disumbangkan ke rumah-rumah ibadah. Pesta ini sesungguhnya menjadi simbol dari upaya melestarikan tradisi tolong-menolong dan gotong-royong.
Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya berbicara upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri'). Makanya, upacara Rambu Solo juga terkait dengan tingkat stratifikasi sosial. Dulunya, pesta meriah hanya menjadi milik bangsawan kelas tinggi dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang mulai bergeser. Siapa yang kaya, itulah yang pestanya meriah.
Berbagi makanan adalah hal biasa. Olehnya itu, berkunjung ke rumah orang Toraja akan selalu diajak makan dan tidak boleh ditolak. Jika sudah makan dan kenyang, tetap ambil beberapa suap sebagai tanda persaudaraan dan penghormatan.
Menurut hukum adat Toraja, pewaris yang memberi terbanyak pada upacara pemakaman akan menerima bagian terbesar warisan, entah dia perempuan atau laki-laki.
Kepercayaan leluhur (aluk todolo) jiwa yang mati mengendarai jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan. Makanya, hewan terbaik dan paling berharga adalah Tedong Bonga. Sebab, dengan bahu yang besar dan tanduk panjang yang kuat, bisa dikendarai bagi yang meninggal melintasi gunung dan lembah menuju alam baka (puya).
Orang Toraja percaya bahwa jiwa dari hewan korban akan mengikuti tuannya yang dikorbankan pada upacara pemakaman. Dipercaya pula, roh dari rumah dan semua milik yang meninggal akan mengikuti pemiliknya. Karenanya, sekalipun seseorang meninggal di tempat lain, keluarga berusaha membawanya kembali ke tempat asal untuk upacara pemakaman. (*)
Gerbang Memasuki Alam Kekal
(18 Jul 2005, 1188 x , Komentar)
KEMATIAN bagi yang hidup adalah sebuah keniscayaan. Demikian juga bagi masyarakat Tana Toraja, Sulsel.Tapi, sebagai gerbang ke alam yang lain, masyarakat Tana Toraja punya tradisi sendiri bagi tiap kerabatnya yang meninggal; pesta adat Rambu Solo'.
==========
DI balik pegunungan yang sulit terjangkau kendaraan, di atas lahan yang sedikit lapang, tampak berjejer rumah-rumah dari bambu. Modelnya sederhana. Bahkan, tidak berlebih bila dinyatakan tak layak ditinggali. Dalam Bahasa Toraja, rumah-rumah bambu itu dikenal dengan nama Lantang.
Rumah-rumah bambu itu dibuat bersambung. Sebuah rumah besar, tongkonan, sebagai rumah khas adat Toraja seolah menjadi pusat dari rumah-rumah bambu itu. Sebab, di kiri kanan rumah besar itulah, rumah-rumah bambu itu didirikan. Tiap sekat rumah bambu itu diberi nomor.
Pendirian rumah-rumah bambu itu merupakan pertanda akan dimulainya sebuah pesta adat dalam tradisi masyarakat Tana Toraja. Pesta adat atas meninggalnya kerabat. Pesta adat yang merupakan warisan tradisi para leluhur; upacara penguburan atau Rambu Solo'.
Dalam bahasa lain, Rambu Solo' juga kerap dimaknai sebagai pesta kematian. Akan tetapi, makna tentu bukan berpesta atas kematian kerabat, melainkan upacara mengantar kepergian kerabat yang telah berjasa dalam hidupnya.
Siang itu, Kamis 14 Juli 2005. Di daerah Kamiri, Sangalla, Tator, berlangsung pesta adat Rambu Solo atas kematian Helena Rambulangi dalam usia 95 tahun. Hampir semua perhatian masyarakat sekitar tertuju pada acara ini. Malah, ada yang datang khusus, termasuk para turis datang jauh-jauh, hanya untuk menyaksikan jalannya acara ini.
Bahkan, ada yang sudah mengikuti upacara ini sejak Sabtu, 9 Juli. Kamis siang itu, memang menjadi puncak upacara Rambu Solo; mengantar jenazah ke pemakaman. Sebelumnya, Sabtu 9 Juli, kerabat yang datang sudah diminta mengisi lantang yang tersedia, termasuk logistik yang dibutuhkan selama acara pemakaman.
Pada hari yang sama juga digelar Ma'karudusan. Dua ekor kerbau dikorbankan sebagai pertanda dimulainya acara pemakaman. Tidak berselang lama, fase Ma'pasa' Tedong juga digelar. Semua kerbau yang telah disepakati keluarga untuk dikorbankan dikumpulkan di halaman Tongkonan tempat pesemayaman yang meninggal. Kerbau diarak berkeliling bala'kaan sebanyak tiga kali.
Keesokan harinya, secara berturut-turut dilakukan pemindahan jenazah dari Tongkonan ke Lumbung. Tiba saat Ma'pasonglo', jenazah dipindahkan dari Lumbung ke Lakkian yang berada di lokasi tempat pemakaman, setelah dilakukan ibadah. Pemindahan dilakukan dengan arak-arakan.
Hari berikutnya, keluarga yang berduka menerima kunjungan dari kerabat dan tamu lain yang menyampaikan turut berduka cita. Biasanya berlangsung selama dua hari.
Tamu dan kerabat yang datang lebih dulu mendaftar pada pos penerimaan tamu. Saat itu, tamu juga mendaftarkan hewan atau benda yang dibawanya untuk dicatat panitia. Pendaftaran ini terkait dengan pajak yang harus dibayar yang bagi masyarakat Toraja sudah menjadi salah satu sumber PAD terbesar.
Tamu yang sudah mendaftar lalu masuk ke lokasi Katongkonan secara bergiliran. Para tamu diterima secara resmi oleh keluarga dan dijamu minum kopi, teh, atau pangan. Sesudah dijamu, tamu menuju Lantang masing-masing untuk makan dan istirahat. Selanjutnya, rombongan tamu lainnya akan diterima secara resmi.
Puncak acara adalah mengarak jenazah menuju pemakaman. Semua kerbau yang sudah disepakati dikorbankan harus potong dan dagingnya dibagi-bagikan secara adat sesuai peruntukannya.
***
APA yang dilakukan dalam pesta Rambu Solo' sesungguhnya hanyalah sebuah simbol. Simbol dari sebuah tradisi yang turun temurun. Sebab, dalam pelaksanaan upacara ini, ada yang lebih penting; ada makna yang terkait erat dengan kepercayaan masyarakat.
Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini; bahkan yang menyatakan, orang Toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta kematian.
Pandangan lain menyatakan, sungguh berat acara itu dilaksanakan. Sebab, orang yang kedukaan justru harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Untuk diketahui, hewan-hewan yang dikorbankan dalam upacara itu, ternyata bukan hanya dari kalangan keluarga yang meninggal, tetapi juga merupakan bantuan dari semua keluarga dan kerabat. Selain itu, hewan yang dikorbankan itu juga dibagi-bagikan, termasuk disumbangkan ke rumah-rumah ibadah. Pesta ini sesungguhnya menjadi simbol dari upaya melestarikan tradisi tolong-menolong dan gotong-royong.
Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya berbicara upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri'). Makanya, upacara Rambu Solo juga terkait dengan tingkat stratifikasi sosial. Dulunya, pesta meriah hanya menjadi milik bangsawan kelas tinggi dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang mulai bergeser. Siapa yang kaya, itulah yang pestanya meriah.
Berbagi makanan adalah hal biasa. Olehnya itu, berkunjung ke rumah orang Toraja akan selalu diajak makan dan tidak boleh ditolak. Jika sudah makan dan kenyang, tetap ambil beberapa suap sebagai tanda persaudaraan dan penghormatan.
Menurut hukum adat Toraja, pewaris yang memberi terbanyak pada upacara pemakaman akan menerima bagian terbesar warisan, entah dia perempuan atau laki-laki.
Kepercayaan leluhur (aluk todolo) jiwa yang mati mengendarai jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan. Makanya, hewan terbaik dan paling berharga adalah Tedong Bonga. Sebab, dengan bahu yang besar dan tanduk panjang yang kuat, bisa dikendarai bagi yang meninggal melintasi gunung dan lembah menuju alam baka (puya).
Orang Toraja percaya bahwa jiwa dari hewan korban akan mengikuti tuannya yang dikorbankan pada upacara pemakaman. Dipercaya pula, roh dari rumah dan semua milik yang meninggal akan mengikuti pemiliknya. Karenanya, sekalipun seseorang meninggal di tempat lain, keluarga berusaha membawanya kembali ke tempat asal untuk upacara pemakaman. (*)
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
bugis again
Dari mana nenek-moyang orang Sulawesi Selatan berasal? … jika anggapan Mills benar bahwa lokasi pertama yang ditempati para pendatang adalah sekitar muara Sungai Saddang, maka kemungkinan besar asalnya dari Kalimantan Timur, yakni sekitar Kutei-Samarinda, atau dari bagian tenggara Kalimantan, yakni sekitar Pegatan-Pulau Laut (belakangan, pada kedua wilayah itu terdapat perkampungan bugis. Mungkin tanpa disadari, mereka sebenarnya telah kembali ke tempat asal nenek-moyang mereka) …”
Demikian Christian Pelras, menulis salah satu tesis tentang asal nenek moyang orang Bugis di Sulawesi Selatan, di dalam bukunya Manusia Bugis (Nalar, 2006 hal. 45, terjemahan dari The Bugis, 1996). Tesis ini sudah lama dikemukakan oleh seorang ahli bahasa, Roger F. Mills, yaitu pada tahun 1975, namun bagi masyarakat umum di Indonesia pendapat ini mungkin masih baru.
Selain baru, juga menarik sebab pemahaman yang ada adalah orang Bugis (termasuk suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat) yang ada di Kalimantan Timur dewasa ini berasal dari pulau Sulawesi dari proses gelombang migrasi yang hampir terjadi sepanjang tahun, meski itu hanya per individu. Dengan kata lain, “Mereka kembali ke asal”. Betulkah demikian? Ada ilmuwan yang setuju, ada yang tidak. Namun dari penelitian kesamaan bahasa dan kedekatan geografis, itu sangat dimungkinkan untuk terjadi.
Demikian Christian Pelras, menulis salah satu tesis tentang asal nenek moyang orang Bugis di Sulawesi Selatan, di dalam bukunya Manusia Bugis (Nalar, 2006 hal. 45, terjemahan dari The Bugis, 1996). Tesis ini sudah lama dikemukakan oleh seorang ahli bahasa, Roger F. Mills, yaitu pada tahun 1975, namun bagi masyarakat umum di Indonesia pendapat ini mungkin masih baru.
Selain baru, juga menarik sebab pemahaman yang ada adalah orang Bugis (termasuk suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat) yang ada di Kalimantan Timur dewasa ini berasal dari pulau Sulawesi dari proses gelombang migrasi yang hampir terjadi sepanjang tahun, meski itu hanya per individu. Dengan kata lain, “Mereka kembali ke asal”. Betulkah demikian? Ada ilmuwan yang setuju, ada yang tidak. Namun dari penelitian kesamaan bahasa dan kedekatan geografis, itu sangat dimungkinkan untuk terjadi.
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
Re: our big culture
Sajangrennu di Balikpapan
Dikenal sebagai kota minyak yang menjanjikan kemakmuran, tak dapat dipungkiri Balikpapan menjadi surga bagi pendatang, termasuk para passompe dari ranah bugis makassar. Tak kurang dari 30% dari total penduduknya merupakan pendatang asal sulawesi selatan (bugis, makassar, mandar, toraja), selebihnya berasal dari jawa, sunda, banjar, batak, melayu, flores dan sedikit suku dayak. Di kota yang berpopulasi sekitar 600,000 jiwa, tanpa penduduk asli ini, nuansa bugis dan makassar bisa dijumpai di banyak tempat, dari penganan kecil, sampai nama jalan nya. Sehingga tak aneh kalo kita menyebut kota kecil nan bersih ini sebagai Makassar Mini.
Jika anda ingin menikmati angkutan murah di Balikpapan, cobalah menumpang taxi yang muat sampai 9 orang, ongkos terjauh hanya Rp 3,000. Lho kok bisa? Tidak usah heran, taxi adalah sebutan umum untuk angkot berbentuk mikrolet atau toyota kijang di Balikpapan, sedang untuk taxi yang ‘asli’ mereka menyebutnya ‘argo’, walaupun banyak taxi tersebut tidak terbiasa menggunakan argometer alias borongan. So, anda akan menumpang taxi dengan nomor trayek dan jalur tertentu pula, kecuali kalo diatas jam 9 malam, sopir taxi ini akan melayani anda untuk rute apapun dan kemanapun sesuai orderan. Taxi di Balikpapan ini agak lebih manusiawi dalam memperlakukan penumpangnya, deretan kursi penumpang menghadap ke depan sebagaimana umumnya mobil, tidak seperti saudaranya pete’-pete’ di Makassar atau kota lain yang penumpangnya duduk berhadap-hadapan. Juga, jarang ditemui taxi dengan full capacity, biasanya maksimal hanya ditumpangi oleh 4-6 penumpang. Selain untuk kenyamanan penumpang, juga ada kesepahaman tak tertulis diantara sopir taxi Balikpapan untuk berbagi rejeki dengan sesama sopir taxi. Bagi anda perantau asal Sulawesi Selatan yang lumayan mengerti bahasa bugis dan makassar, taxi yang juga bisa berfungsi sebagai studio musik ini bisa memanjakan anda dengan lagu pengiring dari bugis makassar, dari lagu bugis abadi semisal ‘mabbura mali dan sajang rennu’ sampai lagu pop mutakhir dari Art2Tonic dan Ribas bisa juga anda nikmati. Perbincangan di atas angkot pun acapkali menggunakan bahasa bugis dan makassar, karena hampir 70% sopir taxi di kota ini merupakan pendatang asal bugis makassar. “Tau Ogi tokki pale’na?, Ogi pole fegaki?” sapaan akrab Kahar, sopir taxi nomor 3 ini, ketika tahu kalau saya juga berasal dari Bugis. Sesekali, jika kebetulan duduk di samping sopir bugis semisal Kahar ini, saya akan menanyakan kenapa jauh-jauh cari uang ke Balikpapan, hampir semua jawabannya seragam, “disini, walaupun apa-apa mahal, tapi gampang sekali gappa doe, perputarannya cepat cess...”, itu juga sebabnya mereka betah dan bahkan, mengajak saudara-saudara mereka di kampung untuk hijrah ke Balikpapan. Kalau anda menyempatkan diri menumpang taxi nomor 3, maka akan melewati daerah bernama Karang Bugis, dan juga Jalan Bonto Bulaeng. Di daerah karang Bugis ini juga, berdiri Pondok Pesantren Hidayatullah, yang dikenal sebagai Pesantren dengan cabang terbanyak dan terbesar di Indonesia. Pendiri nya adalah perantau asal Makassar, almarhum ustad Abdullah Said, atau juga dikenal sebagai ustad Mukhsin Qhahhar. Pengajar dan santri nya juga banyak berasal dari Bugis Makassar
Dikenal sebagai kota minyak yang menjanjikan kemakmuran, tak dapat dipungkiri Balikpapan menjadi surga bagi pendatang, termasuk para passompe dari ranah bugis makassar. Tak kurang dari 30% dari total penduduknya merupakan pendatang asal sulawesi selatan (bugis, makassar, mandar, toraja), selebihnya berasal dari jawa, sunda, banjar, batak, melayu, flores dan sedikit suku dayak. Di kota yang berpopulasi sekitar 600,000 jiwa, tanpa penduduk asli ini, nuansa bugis dan makassar bisa dijumpai di banyak tempat, dari penganan kecil, sampai nama jalan nya. Sehingga tak aneh kalo kita menyebut kota kecil nan bersih ini sebagai Makassar Mini.
Jika anda ingin menikmati angkutan murah di Balikpapan, cobalah menumpang taxi yang muat sampai 9 orang, ongkos terjauh hanya Rp 3,000. Lho kok bisa? Tidak usah heran, taxi adalah sebutan umum untuk angkot berbentuk mikrolet atau toyota kijang di Balikpapan, sedang untuk taxi yang ‘asli’ mereka menyebutnya ‘argo’, walaupun banyak taxi tersebut tidak terbiasa menggunakan argometer alias borongan. So, anda akan menumpang taxi dengan nomor trayek dan jalur tertentu pula, kecuali kalo diatas jam 9 malam, sopir taxi ini akan melayani anda untuk rute apapun dan kemanapun sesuai orderan. Taxi di Balikpapan ini agak lebih manusiawi dalam memperlakukan penumpangnya, deretan kursi penumpang menghadap ke depan sebagaimana umumnya mobil, tidak seperti saudaranya pete’-pete’ di Makassar atau kota lain yang penumpangnya duduk berhadap-hadapan. Juga, jarang ditemui taxi dengan full capacity, biasanya maksimal hanya ditumpangi oleh 4-6 penumpang. Selain untuk kenyamanan penumpang, juga ada kesepahaman tak tertulis diantara sopir taxi Balikpapan untuk berbagi rejeki dengan sesama sopir taxi. Bagi anda perantau asal Sulawesi Selatan yang lumayan mengerti bahasa bugis dan makassar, taxi yang juga bisa berfungsi sebagai studio musik ini bisa memanjakan anda dengan lagu pengiring dari bugis makassar, dari lagu bugis abadi semisal ‘mabbura mali dan sajang rennu’ sampai lagu pop mutakhir dari Art2Tonic dan Ribas bisa juga anda nikmati. Perbincangan di atas angkot pun acapkali menggunakan bahasa bugis dan makassar, karena hampir 70% sopir taxi di kota ini merupakan pendatang asal bugis makassar. “Tau Ogi tokki pale’na?, Ogi pole fegaki?” sapaan akrab Kahar, sopir taxi nomor 3 ini, ketika tahu kalau saya juga berasal dari Bugis. Sesekali, jika kebetulan duduk di samping sopir bugis semisal Kahar ini, saya akan menanyakan kenapa jauh-jauh cari uang ke Balikpapan, hampir semua jawabannya seragam, “disini, walaupun apa-apa mahal, tapi gampang sekali gappa doe, perputarannya cepat cess...”, itu juga sebabnya mereka betah dan bahkan, mengajak saudara-saudara mereka di kampung untuk hijrah ke Balikpapan. Kalau anda menyempatkan diri menumpang taxi nomor 3, maka akan melewati daerah bernama Karang Bugis, dan juga Jalan Bonto Bulaeng. Di daerah karang Bugis ini juga, berdiri Pondok Pesantren Hidayatullah, yang dikenal sebagai Pesantren dengan cabang terbanyak dan terbesar di Indonesia. Pendiri nya adalah perantau asal Makassar, almarhum ustad Abdullah Said, atau juga dikenal sebagai ustad Mukhsin Qhahhar. Pengajar dan santri nya juga banyak berasal dari Bugis Makassar
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
Re: our big culture
Puisi Teka-teki a la Orang Bugis
oleh M Aan Mansyur
Senin 5 Maret 2007
KEBESARAN epos-mitos La Galigo telah membunuh banyak genre sastra klasik Bugis. La Galigo yang diduga sebagai karya sastra terpanjang dalam sejarah sastra dunia itu terlalu banyak menyedot perhatian kritikus, peminat dan peneliti seni. Mereka, para peminat dan peneliti seni itu, lupa bahwa begitu banyak karya sastra Bugis lain yang menarik untuk diperbincangkan.
Jelajah cepat
* Menyembunyikan Maksud di Balik Tiga Lapis Sarung, p1
* Permainan Bahasa, Kunci Jawaban, p1
* Referensi:, p1
BANYAKNYA ragam genre sastra Bugis bisa dibaca dalam satu bab The Bugis, buku hasil penelitian Christian Pelras selama puluhan tahun di tanah Bugis. Selain jumlahnya yang diperkirakan sampai 2.500.000 karya, kualitas karya-karya itu juga sangat layak untuk jadi bahan kajian. Sebuah tulisan Roger Tol di jurnal KITLV edisi 148-1 (1992: 82-102) memaksa tulisan ini lahir. Roger Tol membahas sebuah genre puisi Bugis, élong, dalam tulisan tersebut. Tulisan ini akan membicarakan ulang satu jenis élong yang sangat unik yakni élong maliung bettuanna, puisi teka-teki yang harus menggunakan rumus tertentu agar bertemu jawabannya. Menurut Salim (1990:3-5), sedikitnya ada 14 jenis élong yang bisa dibedakan menurut isi (content), peristiwa (occasion) di mana lagu itu nyanyikan dan terakhir sifat-sifat formalnya (formal peculiarities).
Ada élong yang secara khusus membicarakan perihal keluarga, agama dan hiburan semata. Sejumlah lainnya dipentaskan pada peristiwa-persitiwa khusus, semisal élong madduta (lagu melamar) dan élong osong (lagu perang). Ada juga élong, seperti puisi klasik Jepang, haiku, yang terdiri dari aturan-aturan baris dan jumlah silabel. Lainnya, terdapat élong yang rangkaian huruf awalnya membentuk nama-nama hari. Keunikan-keunikan itulah yang membuat élong bisa menjadi media untuk melakukan permainan bahasa seperti yang juga akan dibahas dalam tulisan ini. Macam-macam élong bisa ditemukan dalam beberapa buku, beberapa di antaranya adalah Salim (1969-71, 1990), Sikki (1978:277-323), dan paling komprehensif adalah koleksi élong yang dikumpulkan oleh pionir pengkaji Bugis dan Makassar, Matthes (1872a:370-409, 1883) .
Tak berbeda dengan pantun, élong sekaligus bisa menjadi sastra lisan dan tulisan. Nama élong (secara harafiah berarti ‘lagu’) sendiri menunjukkan bahwa puisi ini awalnya adalah sastra lisan. Dalam sejarahnya kadang-kadang élong memang dipertunjukkan atau dinyanyikan dengan iringan instrumen seperti biolin dan suling, meskipun juga sering tanpa iringan apa-apa (Sikki, 1978:xi). Dulu, élong bahkan sering dijadikan sebagai salah satu jenis lomba—sambil berpesta pora minum tuak dan makan melimpah.
Sebelum akhirnya hilang dari kehidupan keseharian orang Bugis, élong masih digunakan dalam prosesi melamar, di mana dua kelompok, masing-masing dari pihak laki dan perempuan, saling melempar bait-bait élong hingga hadirnya kesepakatan pernikahan. Semakin lihai kelompok pelamar menggubah bait-bait élong, semakin besar peluang lamarannya diterima. Hal seperti itu tak lagi bisa ditemukan di daerah Bugis sekarang ini. Hampir selalu, status dan harta menjadi faktor paling menentukan diterima atau tidaknya sebuah lamaran. Di daerah Bone, Pinrang dan Sidrap, misalnya, orang tua seorang gadis bisa saja meminta uang ratusan juta sebagai syarat pernikahan.
Menyembunyikan Maksud di Balik Tiga Lapis Sarung
NAMPAKNYA seperti dikatakan oleh dua baris akhir sebuah soneta Shakespeare, so long as men can breathe or eyes can see,/so long lives this, and this gives lives to thee, orang Bugis sejak lama telah menyadari signifikansi puisi. Misalnya saja dengan membuat aturan-aturan tertentu untuk memahami sebuah bait élong maliung bettuanna. Aturan-aturan khusus itulah yang membuat genre puisi ini menjadi sangat unik dan menarik. Tidak saja dalam élong maliung bettuanna, tetapi begitu banyak karya-karya penting, pendek maupun panjang, ditulis menggunakan puisi.
Tak banyak peminat dan sarjana sastra yang membahas jenis puisi élong maliung bettuanna mungkin dikarenakan dua faktor penting yang sama-sama susah dipahami; matra dan archaic vocubulary yang digunakan. Secara harafiah, élong maliung bettuanna berarti ‘lagu yang dalam maknanya’ (maliung berarti ‘dalam’ dan bettuanna berarti ‘artinya’ atau ‘maknanya’). Dengan kata lain, élong ini adalah puisi dengan makna tersembunyi. Sebagaimana jenis élong lain, élong maliung bettuanna pun menggunakan simbol, matra dan bentuk khas. Tetapi jenis élong ini memiliki satu perbedaan yakni penggunaan crypto-language yang sangat khas yang disebut Basa to Bakke’.
Basa to Bakke’ secara harafiah berarti ‘bahasa orang-orang Bakke’’. Sebenarnya penamaan ini merujuk kepada seseorang bernama Datu Bakke’, Pangeran dari Bakke’, yang dikenang karena kecerdasan dan keintelektualannya. Nama orang ini banyak disebut-sebut dalam literatur sejarah Bugis, utamanya Soppeng. Bakke’ sendiri adalah nama sebuah daerah di Soppeng, Sulawesi Selatan. Bisa terjadi kesalahpengertian di sini, sebab seolah-olah ada bahasa lain selain bahasa Bugis yang digunakan dalam puisi Bugis ini. Sehingga sesungguhnya Basa to Bakke lebih cocok diartikan sebagai permainan bahasa Bakke’.
Basa to Bakke’ menjadi ciri khas dalam puisi teka-teki Bugis atau élong maliung bettuanna ini. Sangat berlainan dengan pantun teka-teki yang hanya menggunakan simbol untuk menyembunyikan jawaban, teka-teki élong maliung bettuanna tersembunyi di balik tiga lapis sarung. Untuk tiba pada makna sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penulisnya, tiga lapis sarung itu harus disingkap satu per satu.
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk di hidung ?
Bandingkan pantun di atas dengan sebuah teka-teki a la puisi Bugis yang dikutip dari Tol dkk (1992:85) berikut ini:
Kégana mumaberrekkeng,
buaja bulu’édé,
lompu’ walennaé?
(Mana lebih kau suka,
buaya gunung,
atau lumpur sungai?)
Tentu tak susah menemukan jawaban teka-teki pantun di atas. Pantun itu adalah teka-teki Budi di buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk murid Kelas III Sekolah Dasar zaman orde baru. Tetapi bagaimana menemukan ‘jawaban’ teka-teki Bugis di atas? Sebenarnya puisi itu ingin menyampaikan makna: ‘mana lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’.
Bagi yang paham aksara Bugis, tentu masih ingat bahwa aksara Bugis memiliki beberapa keunikan dibandingkan, misalnya, dengan aksara Latin. Aksara Bugis, sebagaimana kebanyakan aksara di Asia, memiliki kecacatan. Kekurangan yang sekaligus bisa jadi kelebihan itu di antaranya adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Aksara Bugis, nyaris sama dengan aksara Jepang, setiap hurufnya adalah satu suku kata (syllabel). Satu silabel dalam aksara Bugis bisa dibaca dengan berbagai cara. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca /pa/, /ppa/, /pang/, /ppang/, /pa’/, atau /ppa’/. Keunikan aksara Bugis inilah yang dieksplorasi oleh permainan Basa to Bakke’ dalam élong maliung bettuanna.
Dalam satu élong yang disebutkan tadi, sarung pertama yang harus disingkap untuk menemukan jawabannya telah dilakukan dengan memperlihatkan arti puisi itu. Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi pernyataan (frase). Ada dua frase dalam puisi itu yang harus diperhatikan, buaja bulue’édé dan lompu’ walennaé. Buaja bulu’édé berarti ‘buaya gunung’ dan lompu’ walennaé berarti ‘lumpur sungai’.
Setelah mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah menemukan apa rujukan dari frase yang telah ditemukan. Dalam penyingkapan sarung kedua ini, memang sangat erat kaitannya dengan pengetahuan dan alam pikiran budaya Bugis. Buaja bulu’édé (buaya gunung) dalam budaya Bugis merujuk kepada macang (macan) dan lompu’ walannaé (lumpur sungai) menunjuk kepada kessi’ (pasir).
Jika hanya sampai di sini, puisi itu akan berarti ‘mana yang lebih kau suka, macan atau pasir?’ Tentulah ini akan menjadi sebuah pernyataan yang tidak logis. Tetapi memang bukanlah itu yang sesungguhnya ingin disampaikan puisi tersebut. Masih ada satu lapis sarung yang harus disingkapkan. Di tahapan inilah permainan bahasa tadi digunakan. Dalam tulisan aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca’ (cerdas) dan kessi’ (pasir) sama dengan kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis /ma-ca/ (ingat, tak ada final velar nasals dan geminated consonant dalam aksara Bugis) dan /ke-si/ (ingat juga tak ada glottal stop).
Akhirnya makna puisi itu menjadi ‘mana yang lebih kau suka, (perempuan) cerdas atau (perempuan) cantik?’.
Perhatikan satu contoh lagi berikut ini:
Gellang riwata’ majjékko,
Anré-anréna to Menre’é,
aténa unnyié.
(Tembaga melengkung di ujung,
makanan orang Mandar,
hati kunyit.)
Puisi teka-teki yang berarti ‘aku mencintaimu’ ini bisa disingkap jawabannya dengan cara yang sama. Gellang riwata’ majjékko merujuk kepada méng (kail), anré-anréna to Menre’é merujuk kepada loka (pisang)—konon Orang Bugis dulu menganggap makanan pokok orang Mandar adalah pisang, dan aténa unnyié merujuk kepada ridi (kuning). Jika tiga kata itu dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian huruf ini bisa juga dibaca mélo’ ka ridi yang artinya ‘aku mencintaimu’.
Tiga lapis sarung itu bisa diuraikan lebih rinci seperti berikut; sarung pertama, mengenali frase yang menyimpan kiasan atau sampiran dan bunyi. Dalam puisi di atas, setiap barisnya menyimpan masing-masing satu frase untuk mengenali sampiran itu; gellang riwata majjékko, anré-anréna to Menre’é, dan aténa unnyié. Sampiran dari frase itu, secara berurutan masing-masing; méng (kail), loka (pisang), dan ridi (kuning). Lapis kedua adalah bunyi méng, loka, dan ridi. Bunyi tiga kata itu membawa kita ke lapis sarung selanjutnya untuk menemukan makna (isi), bunyi meng dalam aksara Bugis ditulis /me/, bunyi loka ditulis /lo-ka/, dan bunyi ridi ditulis /ri-di/. Untuk menemukan makna élong semua bunyi itu dirangkai menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian bunyi itu jika dibaca menjadi mélo’ka ridi yang maknanya ‘aku mencintaimu’.
Jika dalam pantun baris pertama-kedua adalah sampiran dan baris ketiga-keempat adalah isi, maka dalam élong maliung bettuanna bunyi (lapis kedua) yang menjadi sampiran sekaligus petunjuk untuk masuk ke lapis selanjutnya yaitu isi.
Jika disederhanakan, rumus tiga lapis sarung untuk menyingkap makna élongmaliung bettuanna di atas bisa menjadi: (1) frase, (2) bunyi, dan (3) makna.
Lihat contoh berikut ini:
Inungeng mapekke’-pekke’
balinna ase’édé,
bali ulu balé.
(Minuman pekat,
kebalikan atas,
kebalikan kepala ikan.)
asik, orang-orang juga mulai tak meminati bahasa daerah.[]
Referensi:
1. Fachruddin Ambo Enre, 1983, Ritumpanna Weelenrennge, telaah filologis sebuah Episode Bugis klasik, Jakarta: Universitas Indonesia.
2. Kennedy, J.X, 1991. Literaure: an Introduction to Fiction, Poetry and Drama, (Fifth Edition). New York: harper Collins Publisher.
3. Mattulada, 1985, Latoa; satu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang Bugis, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
4. Muhammad Salim, 1969-71, Transliterasi dan Terjemahan elong Ugi (kajian naskah Bugis), Ujung pandang: Departemen P dan K, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan.
5. Muhammad Sikki, dkk, 1978, Terjemahan beberapa naskah lontara Bugis, Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
6. Pelras, Christian, 2006, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar.
7. Perrine, Laurence, 1974, Literatre: Structure, Sound and sense. (Second Edition). New York: Harcourt Brace Javanovisch Inc.
8. Rahman Daeng Palallo, 1968, ‘Bahasa Bugis; Dari hal elong maliung bettuanna (pantun jang dalam artinya)’, Bingkisan I.
9. Tol, Roger, 1992, ‘Fish Food on a Tree Branch; Hidden Meanings in Bugis Poetry’, Leiden: Bijdragen tot de Taal-, land- en Volkenkunde 148 : 82-102.
Tulisan lebih lengkap mengenai ini juga pernah dimuat di www.puisi.net dan www.panyingkul.com.
oleh M Aan Mansyur
Senin 5 Maret 2007
KEBESARAN epos-mitos La Galigo telah membunuh banyak genre sastra klasik Bugis. La Galigo yang diduga sebagai karya sastra terpanjang dalam sejarah sastra dunia itu terlalu banyak menyedot perhatian kritikus, peminat dan peneliti seni. Mereka, para peminat dan peneliti seni itu, lupa bahwa begitu banyak karya sastra Bugis lain yang menarik untuk diperbincangkan.
Jelajah cepat
* Menyembunyikan Maksud di Balik Tiga Lapis Sarung, p1
* Permainan Bahasa, Kunci Jawaban, p1
* Referensi:, p1
BANYAKNYA ragam genre sastra Bugis bisa dibaca dalam satu bab The Bugis, buku hasil penelitian Christian Pelras selama puluhan tahun di tanah Bugis. Selain jumlahnya yang diperkirakan sampai 2.500.000 karya, kualitas karya-karya itu juga sangat layak untuk jadi bahan kajian. Sebuah tulisan Roger Tol di jurnal KITLV edisi 148-1 (1992: 82-102) memaksa tulisan ini lahir. Roger Tol membahas sebuah genre puisi Bugis, élong, dalam tulisan tersebut. Tulisan ini akan membicarakan ulang satu jenis élong yang sangat unik yakni élong maliung bettuanna, puisi teka-teki yang harus menggunakan rumus tertentu agar bertemu jawabannya. Menurut Salim (1990:3-5), sedikitnya ada 14 jenis élong yang bisa dibedakan menurut isi (content), peristiwa (occasion) di mana lagu itu nyanyikan dan terakhir sifat-sifat formalnya (formal peculiarities).
Ada élong yang secara khusus membicarakan perihal keluarga, agama dan hiburan semata. Sejumlah lainnya dipentaskan pada peristiwa-persitiwa khusus, semisal élong madduta (lagu melamar) dan élong osong (lagu perang). Ada juga élong, seperti puisi klasik Jepang, haiku, yang terdiri dari aturan-aturan baris dan jumlah silabel. Lainnya, terdapat élong yang rangkaian huruf awalnya membentuk nama-nama hari. Keunikan-keunikan itulah yang membuat élong bisa menjadi media untuk melakukan permainan bahasa seperti yang juga akan dibahas dalam tulisan ini. Macam-macam élong bisa ditemukan dalam beberapa buku, beberapa di antaranya adalah Salim (1969-71, 1990), Sikki (1978:277-323), dan paling komprehensif adalah koleksi élong yang dikumpulkan oleh pionir pengkaji Bugis dan Makassar, Matthes (1872a:370-409, 1883) .
Tak berbeda dengan pantun, élong sekaligus bisa menjadi sastra lisan dan tulisan. Nama élong (secara harafiah berarti ‘lagu’) sendiri menunjukkan bahwa puisi ini awalnya adalah sastra lisan. Dalam sejarahnya kadang-kadang élong memang dipertunjukkan atau dinyanyikan dengan iringan instrumen seperti biolin dan suling, meskipun juga sering tanpa iringan apa-apa (Sikki, 1978:xi). Dulu, élong bahkan sering dijadikan sebagai salah satu jenis lomba—sambil berpesta pora minum tuak dan makan melimpah.
Sebelum akhirnya hilang dari kehidupan keseharian orang Bugis, élong masih digunakan dalam prosesi melamar, di mana dua kelompok, masing-masing dari pihak laki dan perempuan, saling melempar bait-bait élong hingga hadirnya kesepakatan pernikahan. Semakin lihai kelompok pelamar menggubah bait-bait élong, semakin besar peluang lamarannya diterima. Hal seperti itu tak lagi bisa ditemukan di daerah Bugis sekarang ini. Hampir selalu, status dan harta menjadi faktor paling menentukan diterima atau tidaknya sebuah lamaran. Di daerah Bone, Pinrang dan Sidrap, misalnya, orang tua seorang gadis bisa saja meminta uang ratusan juta sebagai syarat pernikahan.
Menyembunyikan Maksud di Balik Tiga Lapis Sarung
NAMPAKNYA seperti dikatakan oleh dua baris akhir sebuah soneta Shakespeare, so long as men can breathe or eyes can see,/so long lives this, and this gives lives to thee, orang Bugis sejak lama telah menyadari signifikansi puisi. Misalnya saja dengan membuat aturan-aturan tertentu untuk memahami sebuah bait élong maliung bettuanna. Aturan-aturan khusus itulah yang membuat genre puisi ini menjadi sangat unik dan menarik. Tidak saja dalam élong maliung bettuanna, tetapi begitu banyak karya-karya penting, pendek maupun panjang, ditulis menggunakan puisi.
Tak banyak peminat dan sarjana sastra yang membahas jenis puisi élong maliung bettuanna mungkin dikarenakan dua faktor penting yang sama-sama susah dipahami; matra dan archaic vocubulary yang digunakan. Secara harafiah, élong maliung bettuanna berarti ‘lagu yang dalam maknanya’ (maliung berarti ‘dalam’ dan bettuanna berarti ‘artinya’ atau ‘maknanya’). Dengan kata lain, élong ini adalah puisi dengan makna tersembunyi. Sebagaimana jenis élong lain, élong maliung bettuanna pun menggunakan simbol, matra dan bentuk khas. Tetapi jenis élong ini memiliki satu perbedaan yakni penggunaan crypto-language yang sangat khas yang disebut Basa to Bakke’.
Basa to Bakke’ secara harafiah berarti ‘bahasa orang-orang Bakke’’. Sebenarnya penamaan ini merujuk kepada seseorang bernama Datu Bakke’, Pangeran dari Bakke’, yang dikenang karena kecerdasan dan keintelektualannya. Nama orang ini banyak disebut-sebut dalam literatur sejarah Bugis, utamanya Soppeng. Bakke’ sendiri adalah nama sebuah daerah di Soppeng, Sulawesi Selatan. Bisa terjadi kesalahpengertian di sini, sebab seolah-olah ada bahasa lain selain bahasa Bugis yang digunakan dalam puisi Bugis ini. Sehingga sesungguhnya Basa to Bakke lebih cocok diartikan sebagai permainan bahasa Bakke’.
Basa to Bakke’ menjadi ciri khas dalam puisi teka-teki Bugis atau élong maliung bettuanna ini. Sangat berlainan dengan pantun teka-teki yang hanya menggunakan simbol untuk menyembunyikan jawaban, teka-teki élong maliung bettuanna tersembunyi di balik tiga lapis sarung. Untuk tiba pada makna sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penulisnya, tiga lapis sarung itu harus disingkap satu per satu.
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk di hidung ?
Bandingkan pantun di atas dengan sebuah teka-teki a la puisi Bugis yang dikutip dari Tol dkk (1992:85) berikut ini:
Kégana mumaberrekkeng,
buaja bulu’édé,
lompu’ walennaé?
(Mana lebih kau suka,
buaya gunung,
atau lumpur sungai?)
Tentu tak susah menemukan jawaban teka-teki pantun di atas. Pantun itu adalah teka-teki Budi di buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk murid Kelas III Sekolah Dasar zaman orde baru. Tetapi bagaimana menemukan ‘jawaban’ teka-teki Bugis di atas? Sebenarnya puisi itu ingin menyampaikan makna: ‘mana lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’.
Bagi yang paham aksara Bugis, tentu masih ingat bahwa aksara Bugis memiliki beberapa keunikan dibandingkan, misalnya, dengan aksara Latin. Aksara Bugis, sebagaimana kebanyakan aksara di Asia, memiliki kecacatan. Kekurangan yang sekaligus bisa jadi kelebihan itu di antaranya adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Aksara Bugis, nyaris sama dengan aksara Jepang, setiap hurufnya adalah satu suku kata (syllabel). Satu silabel dalam aksara Bugis bisa dibaca dengan berbagai cara. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca /pa/, /ppa/, /pang/, /ppang/, /pa’/, atau /ppa’/. Keunikan aksara Bugis inilah yang dieksplorasi oleh permainan Basa to Bakke’ dalam élong maliung bettuanna.
Dalam satu élong yang disebutkan tadi, sarung pertama yang harus disingkap untuk menemukan jawabannya telah dilakukan dengan memperlihatkan arti puisi itu. Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi pernyataan (frase). Ada dua frase dalam puisi itu yang harus diperhatikan, buaja bulue’édé dan lompu’ walennaé. Buaja bulu’édé berarti ‘buaya gunung’ dan lompu’ walennaé berarti ‘lumpur sungai’.
Setelah mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah menemukan apa rujukan dari frase yang telah ditemukan. Dalam penyingkapan sarung kedua ini, memang sangat erat kaitannya dengan pengetahuan dan alam pikiran budaya Bugis. Buaja bulu’édé (buaya gunung) dalam budaya Bugis merujuk kepada macang (macan) dan lompu’ walannaé (lumpur sungai) menunjuk kepada kessi’ (pasir).
Jika hanya sampai di sini, puisi itu akan berarti ‘mana yang lebih kau suka, macan atau pasir?’ Tentulah ini akan menjadi sebuah pernyataan yang tidak logis. Tetapi memang bukanlah itu yang sesungguhnya ingin disampaikan puisi tersebut. Masih ada satu lapis sarung yang harus disingkapkan. Di tahapan inilah permainan bahasa tadi digunakan. Dalam tulisan aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca’ (cerdas) dan kessi’ (pasir) sama dengan kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis /ma-ca/ (ingat, tak ada final velar nasals dan geminated consonant dalam aksara Bugis) dan /ke-si/ (ingat juga tak ada glottal stop).
Akhirnya makna puisi itu menjadi ‘mana yang lebih kau suka, (perempuan) cerdas atau (perempuan) cantik?’.
Perhatikan satu contoh lagi berikut ini:
Gellang riwata’ majjékko,
Anré-anréna to Menre’é,
aténa unnyié.
(Tembaga melengkung di ujung,
makanan orang Mandar,
hati kunyit.)
Puisi teka-teki yang berarti ‘aku mencintaimu’ ini bisa disingkap jawabannya dengan cara yang sama. Gellang riwata’ majjékko merujuk kepada méng (kail), anré-anréna to Menre’é merujuk kepada loka (pisang)—konon Orang Bugis dulu menganggap makanan pokok orang Mandar adalah pisang, dan aténa unnyié merujuk kepada ridi (kuning). Jika tiga kata itu dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian huruf ini bisa juga dibaca mélo’ ka ridi yang artinya ‘aku mencintaimu’.
Tiga lapis sarung itu bisa diuraikan lebih rinci seperti berikut; sarung pertama, mengenali frase yang menyimpan kiasan atau sampiran dan bunyi. Dalam puisi di atas, setiap barisnya menyimpan masing-masing satu frase untuk mengenali sampiran itu; gellang riwata majjékko, anré-anréna to Menre’é, dan aténa unnyié. Sampiran dari frase itu, secara berurutan masing-masing; méng (kail), loka (pisang), dan ridi (kuning). Lapis kedua adalah bunyi méng, loka, dan ridi. Bunyi tiga kata itu membawa kita ke lapis sarung selanjutnya untuk menemukan makna (isi), bunyi meng dalam aksara Bugis ditulis /me/, bunyi loka ditulis /lo-ka/, dan bunyi ridi ditulis /ri-di/. Untuk menemukan makna élong semua bunyi itu dirangkai menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian bunyi itu jika dibaca menjadi mélo’ka ridi yang maknanya ‘aku mencintaimu’.
Jika dalam pantun baris pertama-kedua adalah sampiran dan baris ketiga-keempat adalah isi, maka dalam élong maliung bettuanna bunyi (lapis kedua) yang menjadi sampiran sekaligus petunjuk untuk masuk ke lapis selanjutnya yaitu isi.
Jika disederhanakan, rumus tiga lapis sarung untuk menyingkap makna élongmaliung bettuanna di atas bisa menjadi: (1) frase, (2) bunyi, dan (3) makna.
Lihat contoh berikut ini:
Inungeng mapekke’-pekke’
balinna ase’édé,
bali ulu balé.
(Minuman pekat,
kebalikan atas,
kebalikan kepala ikan.)
asik, orang-orang juga mulai tak meminati bahasa daerah.[]
Referensi:
1. Fachruddin Ambo Enre, 1983, Ritumpanna Weelenrennge, telaah filologis sebuah Episode Bugis klasik, Jakarta: Universitas Indonesia.
2. Kennedy, J.X, 1991. Literaure: an Introduction to Fiction, Poetry and Drama, (Fifth Edition). New York: harper Collins Publisher.
3. Mattulada, 1985, Latoa; satu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang Bugis, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
4. Muhammad Salim, 1969-71, Transliterasi dan Terjemahan elong Ugi (kajian naskah Bugis), Ujung pandang: Departemen P dan K, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan.
5. Muhammad Sikki, dkk, 1978, Terjemahan beberapa naskah lontara Bugis, Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
6. Pelras, Christian, 2006, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar.
7. Perrine, Laurence, 1974, Literatre: Structure, Sound and sense. (Second Edition). New York: Harcourt Brace Javanovisch Inc.
8. Rahman Daeng Palallo, 1968, ‘Bahasa Bugis; Dari hal elong maliung bettuanna (pantun jang dalam artinya)’, Bingkisan I.
9. Tol, Roger, 1992, ‘Fish Food on a Tree Branch; Hidden Meanings in Bugis Poetry’, Leiden: Bijdragen tot de Taal-, land- en Volkenkunde 148 : 82-102.
Tulisan lebih lengkap mengenai ini juga pernah dimuat di www.puisi.net dan www.panyingkul.com.
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
Re: our big culture
Setelah melalui proses penyingkapan makna, puisi ini berarti ’saya tak suka padamu’. Makna itu ditemukan dari rangkaian kata téng, awa, dan ikko yang jika dituliskan dengan aksara Bugis menjadi /te-a-wa-(r)i-ko/, ‘aku tidak mau atau benci padamu’. Frase élong itu adalah inungeng mapekke-pekke, balinna ase’édé, dan bali ulu balé. Bunyi yang dihasilkan frase itu adalah téng (teh), awa (bawah), dan ikko (ekor). Bunyi ini jika dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi /te-a-wa-(r)i-ko/. Rangkaian aksara Bugis itu bisa juga terbaca téawa (r)iko, ‘aku tak suka padamu’.
Vopel (1967:3) mengatakan bahwa kemungkinan puisilah bahasa paling rumit di dunia ini. Disebut paling rumit karena puisi menghendaki kepadatan (compactness) dalam pengungkapan. Kepadatan ini tidak hanya tercermin lewat kata-kata yang memiliki bobot makna yang berdaya jangkau lebih luas ketimbang bahasa sehari-hari. Kepadatan juga berperan sebagai pembangun dimensi lapis kedua seperti membangun kesan atau efek imagery, tatanan ritmis di tiap baris, membentuk nada suara sebagai cermin sikap penulis semisal sinis, ironis, atau hiperbolis terhadap pokok persoalan yang diangkat. Dan yang lebih penting juga adalah membangun dimensi lain yang hadir tanpa terlihat karena berada di balik makna literal dan atau di balik bentuk yang dipilih. Tuntutan-tuntutan semacam itu tentu lebih longgar pada genre lain seperti prosa (cerita pendek dan novel).
Selain puitis, élong maliung bettuanna juga memang kelihatan rumit dan berlapis-lapis. Namun jika menemukan rumusnya, puisi ini tidak akan serumit yang kita duga. Sungguh, alangkah pintar orang-orang Bugis (dulu) menyembunyikan maksudnya di balik berlapis-lapis sarung.
Permainan Bahasa, Kunci Jawaban
SEPERTI telah kita lihat, élong maliung bettuanna mengandung dua atau tiga pernyataan teka-teki. Jika kita telah menemukan rujukan yang ditunjuk oleh frase-frase itu, kita akan segera menemukan makna puisi—tentu saja jika paham bahasa dan aksara Bugis. Permainan basa to bakke’ memang menjadi kunci jawaban dari teka-teki dalam sebuah élong maliung bettuanna. Permainan bahasa inilah yang paling menarik dari jenis puisi ini, hal yang kemungkinan besar tak akan ditemui dalam puisi lain.
Sesungguhnya, dalam élong maliung bettuanna ada pola-pola umum permainan bahasa orang Bakke yang paling sering digunakan. Basa to Bakke biasanya menggunakan tiga macam topik dalam frasenya; 1) yang berhubungan dengan nama daerah atau tempat (geographical), 2) tentang tumbuh-tumbuhan (botanical), dan 3) tentang binatang (zoological). Memang ada beberapa pengecualian, tetapi ketiga topik itulah yang paling sering digunakan.
TERNYATA bahasa Bugis bisa menjadi permainan yang menarik. Keunikan bahasa seperti itulah yang membuat puisi Bugis menjadi berbeda dibandingkan jenis puisi lainnya. Meski élong maliung bettuanna tak lagi pernah dipentaskan atau dituliskan, meliriknya kembali bisa menjadi alternatif.
Mengadopsi puisi Bugis ini bisa menjadi jawaban atas kejenuhan banyak kritikus sastra yang menganggap puisi modern Indonesia terperangkap oleh segelintir nama-nama besar, seperti Sapardi Djoko Damono, Suardji Calzum Bachri, Goenawan Mohamad dan Afrizal Malna. Kekuatan élong maliung bettuanna salah satunya adalah ketercapaian dan keseimbangan dua kekuatan, bentuk dan isi—hal yang semakin susah ditemukan oleh penyair-penyair Indonesia kontemporer. Tak banyak jenis puisi yang mampu mengawinkan bentuk dan isi seperti yang diperlihatkan oleh élong maliung bettuanna.
Selain aturan bunyi (fonologi) dan makna (semantik) yang telah dijelaskan di atas, sesungguhnya élong maliung bettuanna juga menarik untuk dilihat dari segi matra. Élong maliung bettuanna ini memiliki aturan matra, terdiri dari tiga baris dan tiap barisnya biasanya terdiri dari delapan, tujuh atau enam suku kata. Puisi-puisi Bugis seperti dijelaskan dalam Tol (1992:83) memiliki tiga jenis matra; pentasyllabic metre (seperti yang diperlihatkan dalam La Galigo), octosyllabic metre (seperti dalam teks puisi-puisi naratif Bugis) dan élong metre.
Meskipun memang rumit memahami genre ini, namun tetap terbuka banyak pintu untuk masuk dan menikmati élong maliung bettuanna, salah satunya melalui permainan bahasa. Permainan bahasa seperti Basa to Bakke’ yang telah dijelaskan dalam tulisan ini mungkin pula akan membuat, khususnya orang-orang Bugis, belajar dan mencintai kembali bahasa dan aksara Bugis. Selain tak berminat pada sastra kl
Vopel (1967:3) mengatakan bahwa kemungkinan puisilah bahasa paling rumit di dunia ini. Disebut paling rumit karena puisi menghendaki kepadatan (compactness) dalam pengungkapan. Kepadatan ini tidak hanya tercermin lewat kata-kata yang memiliki bobot makna yang berdaya jangkau lebih luas ketimbang bahasa sehari-hari. Kepadatan juga berperan sebagai pembangun dimensi lapis kedua seperti membangun kesan atau efek imagery, tatanan ritmis di tiap baris, membentuk nada suara sebagai cermin sikap penulis semisal sinis, ironis, atau hiperbolis terhadap pokok persoalan yang diangkat. Dan yang lebih penting juga adalah membangun dimensi lain yang hadir tanpa terlihat karena berada di balik makna literal dan atau di balik bentuk yang dipilih. Tuntutan-tuntutan semacam itu tentu lebih longgar pada genre lain seperti prosa (cerita pendek dan novel).
Selain puitis, élong maliung bettuanna juga memang kelihatan rumit dan berlapis-lapis. Namun jika menemukan rumusnya, puisi ini tidak akan serumit yang kita duga. Sungguh, alangkah pintar orang-orang Bugis (dulu) menyembunyikan maksudnya di balik berlapis-lapis sarung.
Permainan Bahasa, Kunci Jawaban
SEPERTI telah kita lihat, élong maliung bettuanna mengandung dua atau tiga pernyataan teka-teki. Jika kita telah menemukan rujukan yang ditunjuk oleh frase-frase itu, kita akan segera menemukan makna puisi—tentu saja jika paham bahasa dan aksara Bugis. Permainan basa to bakke’ memang menjadi kunci jawaban dari teka-teki dalam sebuah élong maliung bettuanna. Permainan bahasa inilah yang paling menarik dari jenis puisi ini, hal yang kemungkinan besar tak akan ditemui dalam puisi lain.
Sesungguhnya, dalam élong maliung bettuanna ada pola-pola umum permainan bahasa orang Bakke yang paling sering digunakan. Basa to Bakke biasanya menggunakan tiga macam topik dalam frasenya; 1) yang berhubungan dengan nama daerah atau tempat (geographical), 2) tentang tumbuh-tumbuhan (botanical), dan 3) tentang binatang (zoological). Memang ada beberapa pengecualian, tetapi ketiga topik itulah yang paling sering digunakan.
TERNYATA bahasa Bugis bisa menjadi permainan yang menarik. Keunikan bahasa seperti itulah yang membuat puisi Bugis menjadi berbeda dibandingkan jenis puisi lainnya. Meski élong maliung bettuanna tak lagi pernah dipentaskan atau dituliskan, meliriknya kembali bisa menjadi alternatif.
Mengadopsi puisi Bugis ini bisa menjadi jawaban atas kejenuhan banyak kritikus sastra yang menganggap puisi modern Indonesia terperangkap oleh segelintir nama-nama besar, seperti Sapardi Djoko Damono, Suardji Calzum Bachri, Goenawan Mohamad dan Afrizal Malna. Kekuatan élong maliung bettuanna salah satunya adalah ketercapaian dan keseimbangan dua kekuatan, bentuk dan isi—hal yang semakin susah ditemukan oleh penyair-penyair Indonesia kontemporer. Tak banyak jenis puisi yang mampu mengawinkan bentuk dan isi seperti yang diperlihatkan oleh élong maliung bettuanna.
Selain aturan bunyi (fonologi) dan makna (semantik) yang telah dijelaskan di atas, sesungguhnya élong maliung bettuanna juga menarik untuk dilihat dari segi matra. Élong maliung bettuanna ini memiliki aturan matra, terdiri dari tiga baris dan tiap barisnya biasanya terdiri dari delapan, tujuh atau enam suku kata. Puisi-puisi Bugis seperti dijelaskan dalam Tol (1992:83) memiliki tiga jenis matra; pentasyllabic metre (seperti yang diperlihatkan dalam La Galigo), octosyllabic metre (seperti dalam teks puisi-puisi naratif Bugis) dan élong metre.
Meskipun memang rumit memahami genre ini, namun tetap terbuka banyak pintu untuk masuk dan menikmati élong maliung bettuanna, salah satunya melalui permainan bahasa. Permainan bahasa seperti Basa to Bakke’ yang telah dijelaskan dalam tulisan ini mungkin pula akan membuat, khususnya orang-orang Bugis, belajar dan mencintai kembali bahasa dan aksara Bugis. Selain tak berminat pada sastra kl
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
Re: our big culture
Masuknya Etnis Bugis di Kalimantan Barat
Masuknya orang Bugis di Kalimantan Barat bermula dari kedatangan Daeng Mataku yang menikah dengan Ratu Malaya, salah seorang anak Pangeran Agung dari Kerajaan Sukadana. Daeng Mataku ini pernah membantu menyerang Istana Sultan Zainuddin; pada tahun 1710 atas suruhan Pangeran Agung, saudara kandung Zainuddin. Karena jasanya itu, Daeng Mataku diangkat menjadi panglima. Keturunan Daeng Mataku kini tersebar di daerah Sukadana dan sekitarnya.
Atas permintaan Sultan Zainuddin untuk mengatasi perang saudara di kerajaannya, kemudian datang pula Upu Daeng Manambon asal Luwuk bersama saudara-saudaranya, Upu Daeng Merewah, Upu Daeng Perani, Upu Daeng Celak dan Upu Daeng Kemasi. Mereka berhasil memenangi perang tersebut. Upu Daeng Manambon kemudian digelari Pangeran Emas Surya Negara dan menikahi Puteri Kesumba, anak Sultan Zainuddin dengan Utin Indrawati dari Kerajaan Mempawah. Daeng Menambon kemudian menggantikan Panembahan Senggauk sebagai raja di Mempawah. Untuk mengenang kedatangan Daeng Menambon ke Mempawah, hingga kini masyarakat Mempawah mengadakan upacara robo'-robo'.
Dalam perkembangannya, orang Bugis kini tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Barat dan membaur dengan etnis lain yang ada, terutama Melayu. Di Ketapang mereka menetap di Sungai Puteri, Satong, Siduk, Semanai, Melinsum, Sukadana, Rantau Panjang dan Teluk Batang. Di Pontianak terdapat di Segedong, Teluk Pakedai, Batu Ampar, Sungai Kakap dan beberapa kawasan di kota Pontianak.
Di kota Pontianak ada dua kampung Bugis, yakni Bugis Dalam dan Bugis Luar. Keduanya terletak di kawasan Tanjung Hilir, bersebelahan dengan Kampung Arab dan Keraton Kadariyah. Kampung Bugis tersebut sudah ada sejak zaman kesultanan Pontianak, didirikan seorang Bugis kerabat keraton Pontianak, Syarif Acmad yang mempersunting Daeng Madiana, seorang gadis Bugis dari daerah Donggala. Saat ini Kampung Bugis tidak lagi hanya dihuni oleh orang Bugis, tetapi juga penduduk dari suku lain, seperti Melayu, Cina, Madura, Sunda, Jawa dan Dayak.
Orang Bugis terkenal pekerja keras dan ulet, serta masih memegang teguh adat dan tradisi mereka. Di Segedong misalnya, mereka masih melaksanakan upacara adat ritual kelahiran, kematian dan adat lainnya.
Masuknya orang Bugis di Kalimantan Barat bermula dari kedatangan Daeng Mataku yang menikah dengan Ratu Malaya, salah seorang anak Pangeran Agung dari Kerajaan Sukadana. Daeng Mataku ini pernah membantu menyerang Istana Sultan Zainuddin; pada tahun 1710 atas suruhan Pangeran Agung, saudara kandung Zainuddin. Karena jasanya itu, Daeng Mataku diangkat menjadi panglima. Keturunan Daeng Mataku kini tersebar di daerah Sukadana dan sekitarnya.
Atas permintaan Sultan Zainuddin untuk mengatasi perang saudara di kerajaannya, kemudian datang pula Upu Daeng Manambon asal Luwuk bersama saudara-saudaranya, Upu Daeng Merewah, Upu Daeng Perani, Upu Daeng Celak dan Upu Daeng Kemasi. Mereka berhasil memenangi perang tersebut. Upu Daeng Manambon kemudian digelari Pangeran Emas Surya Negara dan menikahi Puteri Kesumba, anak Sultan Zainuddin dengan Utin Indrawati dari Kerajaan Mempawah. Daeng Menambon kemudian menggantikan Panembahan Senggauk sebagai raja di Mempawah. Untuk mengenang kedatangan Daeng Menambon ke Mempawah, hingga kini masyarakat Mempawah mengadakan upacara robo'-robo'.
Dalam perkembangannya, orang Bugis kini tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Barat dan membaur dengan etnis lain yang ada, terutama Melayu. Di Ketapang mereka menetap di Sungai Puteri, Satong, Siduk, Semanai, Melinsum, Sukadana, Rantau Panjang dan Teluk Batang. Di Pontianak terdapat di Segedong, Teluk Pakedai, Batu Ampar, Sungai Kakap dan beberapa kawasan di kota Pontianak.
Di kota Pontianak ada dua kampung Bugis, yakni Bugis Dalam dan Bugis Luar. Keduanya terletak di kawasan Tanjung Hilir, bersebelahan dengan Kampung Arab dan Keraton Kadariyah. Kampung Bugis tersebut sudah ada sejak zaman kesultanan Pontianak, didirikan seorang Bugis kerabat keraton Pontianak, Syarif Acmad yang mempersunting Daeng Madiana, seorang gadis Bugis dari daerah Donggala. Saat ini Kampung Bugis tidak lagi hanya dihuni oleh orang Bugis, tetapi juga penduduk dari suku lain, seperti Melayu, Cina, Madura, Sunda, Jawa dan Dayak.
Orang Bugis terkenal pekerja keras dan ulet, serta masih memegang teguh adat dan tradisi mereka. Di Segedong misalnya, mereka masih melaksanakan upacara adat ritual kelahiran, kematian dan adat lainnya.
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
Re: our big culture
kodong...byak amat tuh....pusing bacanya crot...
jappa2...
jappa2...
dr. SaNtai- Senior member
-
Jumlah posting : 428
Lokasi : someplace in ur heart
Status : dokter anda
Registration date : 14.05.07
Statistik
Point:
(10/100)
Warning:
(0/0)
Thank:
(3/1000)
Re: our big culture
dr. SaNtai wrote:kodong...byak amat tuh....pusing bacanya crot...
jappa2...
ehhhhh
maksudnya saya masukkan banyak tulisan masalh
culture sulsel
karena di sulsel tidak hanya satu ajach kluture tapi banyak
makanya mana culture yang dianggap menarik yahhh
baca yang itu ajach keyyy
pisss
gw
croot_162- .
-
Jumlah posting : 231
Age : 40
Lokasi : chambers Management
Hobby : D3siGN GRafIS
Registration date : 04.05.07
Statistik
Point:
(0/0)
Warning:
(0/0)
Thank:
(0/0)
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik